Tampilkan postingan dengan label Jantung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jantung. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 Juni 2009

Angina Pectoris


Pemeriksaan Khusus pada angina

Pemeriksaan darah rutin, kadar glukosa, lipid dan EKG waktu istirahat perlu dilakukan. Hasilnya meungkin saja normal walaupun ada penyakit jantung koroner yang berat. EKG bisa didapatkan gambaran iskemik dengan infark miokard lama atau depresi ST dan T yang terbalik pada penyakit yang lanjut.
Test exercise selanjutnya perlu dipertimbangkan dengan indikasi sebagai berikut:
- Untuk menyokong diagnosa angina yang dirangsang akibat nyeri dengan perubahan iskemik pada EKG
- Untuk menilai penderita dengan resiko tinggi serta prognosa penyakit
- Untuk menilai kapasitas fungsional dan menentukan kemampuan exercise
- Untuk evaluasi nyeri dada yang atipik

Jenis test exercise bermacam-macam antara lain test treadmill, protokol Bruce, test Master dan Sepeda ergometri. Test exercise tidak perlu dilakukan untuk diagnostik pada wanita dengan nyeri dada non anginal karena kemungkinan penyakit jantung koroner sangat rendah, sedangkan pada laki-laki dengan angina tipikal perlu dilakukan untuk menentukan penderita dengan resiko tinggi dimana sebaliknya perlu dibuat arteriografi koroner. Penderita dengan angina atau perubahan iskemik dalam EKG pada tingkat exercise yang rendah biasanya penderita yang mencapai beban kamsimum yang rendah biasanya menderita kelainan pembuluh darah yang multipel dan bermanfaat bila dilakukan bedah koroner. Bila tekanan darah turun waktu exercise perlu dicurigai adanya obstruksi pada pembuluh darah utama kiri yang juga merupakan indikasi untuk pembedahan. Penderita dengan angina atipikal terutama wanita sering memberi hasil false positif yang tinggi. Sedangkan hasil test yang negatif pada angina atipikal dan non-angina besar kemungkinannya tidak ada kelainan koroner. Bila hasil exercise test meragukan perlu dilakukan pemeriksaan radionuklir karena jarang sekali didapatkan hasil false positif. Thallium scintigrafi menggambarkan perfusi miokard saat istirahat maupun exercise ataupun gangguan fungsi ventrikel kiri yang timbul akibt exercise.
Pemeriksaan arteriografi koroner sangat akurat untuk menentukan luas dan beratnya penyakit jantung koroner. Angiografi koroner dilakukan dengan keteterisasi arterial di bawah anastesi lokal, biasanya pada a. femoralis atau pad a. rakialis. Kateter dimaksudkan di bawah kontrol radiologis ke ventrikel kiri dan a. koronaria kiri dan kanan, kemudian dimasukkan kontras media. Lesi yang sering tampak pada angiogram koroner adalah stenosis atau oklusi oleh ateroma yang bervariasi derajat luas dan beratnya.

Tidak semua penderita angina harus dilakukan test exercise dan angiografi koroner. Indikasi penderita angina yang harus dikirim ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
- angina yang menyebabkan terbatasnya aktifitas walaupun dengan pemakaian obat-obatan.
- Angina progresif dan tak stabil
- Angina baru yang timbul terutama bila tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
- Angina dengan kapasitas exercise yang buruk dibandingan dengan penderita pada umur dan jenis kelamin yang sama.
- Angina dengan gagal jantung
- Angina atipikal pada laki-laki dan wanita di atas 40 tahun.
- Angina post-infark
- Nyeri dada non-anginal yang menetapkan dan tidak dapat didiagnosa pada penderita usia tua terutama bila ada risiko yang multipel
- Keadaan lainnya seperti keadaan non-kardial yang serius dan umur tua.

Pengobatan

a. Memperbaiki faktor risiko

Walaupun masih diperdebatkan ternyata menurunkan kolesterol darah dalam jangka lama dapat mengurangi progresifitas penyakit. Pencegahan primer dengan diet ternyata bermanfaat, bila tidak ada respons dapat diberikan obat-obatan anti lipid. Exercise dapat menurunkan kolesterol LDL. Pngobatan hipertensi juga dapat mengurangi progresifits penyakit, demikian juga merokok perlu dilarang.

b. Pemberian obat-obatan

1. Nitrat
Nitrat meningkatkan pemberian D2 miokard dengan dialatasi arteri epikardial tanpa mempengaruhi, resistensi arteriol arteri intramiokard. Dilatasi terjadi pada arteri yang normal maupun yang abnormal juga pada pembuluh darah kolateral sehingga memperbaiki aliran darah pada daerah isomik. Toleransi sering timbul pada pemberian oral atau bentuk lain dari nitrat long-acting termasuk pemberian topikal atau transdermal. Toleransi adalah suatu keadaan yang memerlukan peningkatan dosis nitrat untuk merangsang efek hemodinamik atau anti-angina. Nitrat yang short-acting seperti gliseril trinitrat kemampuannya terbatas dan harus dipergunakan lebih sering. Sublingual dan jenis semprot oral reaksinya lebih cepat sedangkan jenis buccal mencegah angina lebih dari 5 am tanpa timbul toleransi.

2. Beta- Bloker
Beta –Bloker tetap merupakan pengobatan utama karena pada sebagian besar penderita akan mengurangi keluhan angina. Kerjanya mengurangi denyut jantung, kontasi miokard, tekanan arterial dan pemakaian O2. Beta Bloker lebih jarang dipilih diantara jenis obat lain walaupun dosis pemberian hanya sekali sehari. Efek samping jarang ditemukan akan tetapi tidak boleh diberikan pada penderita dengan riwayat bronkospasme, bradikardi dan gagal jantung.

3. Ca-antagonis
Kerjanya mengurangi beban jantung dan menghilangkan spasma koroner, Nifedipin dapat mengurangi frekuensi serangan anti-angina, memperkuat efek nitrat oral dan memperbaiki toleransi exercise. Merupakan pilihan obat tambahan yang bermanfaat terutama bila dikombinasi dengan beta-bloker sangat efektif karena dapat mengurangi efek samping beta bloker. Efek anti angina lebih baik pada pemberian nifedipin ditambah dengan separuh dosis beta-bloker daripada pemberian beta-bloker saja.
Jadi pada permulaan pengobatan angina dapat diberikan beta-bloker di samping sublingual gliseril trinitrat dan baru pada tingkat lanjut dapat ditambahkan nifedi-pin. Atau kemungkinan lain sebagai pengganti beta-bloker dapat diberi dilti azem suatu jenis ca-antagonis yang tidak merangsang tahikardi. Bila dengan pengobatan ini masih ada keluhan angina maka penderita harus direncanakan untuk terapi bedah koroner. Pengobatan pada angina tidak stabil prinsipnya sama tetapi penderita harus dirawat di rumah sakit. Biasanya keluhan akan berkurang bila ca-antagonis ditambah pada beta-bloker akan tetapi dosis harus disesuaikan untuk mencegah hipertensi. Sebagian penderita sengan pengobatan ini akan stabil tetapi bila keluhan menetap perlu dilakukan test exercise dan arteriografi koroner. Sebagian penderita lainnya dengan risiko tinggi harus diberi nitrat i.v dan nifedipin harus dihentikan bila tekanan darah turun. Biasanya kelompok ini harus segera dilakukan arteriografi koroner untuk kemudian dilakukan bedah pintas koroner atau angioplasti.

4. Antipletelet dan antikoagulan
Segi lain dari pengobatan angina adalah pemberian antipletelet dan antikoagulan. Cairns dkk 1985 melakukan penelitian terhadap penderita angina tak stabil selama lebih dari 2 tahun, ternyata aspirin dapat menurunkan mortalitas dan insidens infark miokard yang tidak fatal pada penderita angina tidak stabil. Pemberian heparin i.v juga efeknya sama dan sering diberikan daripada aspirin untuk jangka pendek dengan tujuan menstabilkan keadaan penderita sebelum arteriografi. Terdapat obat-obatan pada angina pektoris tak stabil secara praktis dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Heparin i.v dan aspirin dapat dianjurkan sebagai pengobatan rutin selama fase akut maupun sesudahnya
- Pada penderita yang keadaannya cenderung tidak stabil dan belum mendapat pengobatan, beta-bloker merupakan pilihan utama bila tidak ada kontra indikasi. Tidak ada pemberian kombinasi beta-bloker dengan ca-antagonis diberikan sekaligus pada permulaan pengobatan.
- Pada penderita yang tetap tidak stabil dengan pemberian beta-bloker dapat ditambah dengan nifedipin.
- Pengobatan tunggal dengan nifedipin tidak dianjurkan.

c. Bedah pintas koroner (Coronary Artery Bypass Graft Surgery)

Walupun pengobatan dengan obat-obatan terbaru untuk pengobatan angina dapat memeperpanjang masa hidup penderita, keadaan tersebut belum dapat dibuktikan pada kelompok penderita tertentu terutama dengan penyakit koroner proksimal
yang berat dan gangguan fungsi ventrikel kiri dengan risiko kerusakan mikardium yang luas (Rahimtoola 1985).
Pembedahan lebih bagus hasilnya dalam memperbaiki gejala dan kapasitas exercise pada angina sedang sampai berat. Perbaikan gejala angina didapatkan pada 90% penderita selama 1 tahun pertama dengan kekambuhan setelah itu 6% pertahun. Kekambuhan yang lebih cepat biasanya disertai dengan penutupan graft akibat kesulitan teknis saat operasi sedangkan penutupan yang lebih lama terjadi setelah 5 – 12 tahun sering karena adanya graft ateroma yang kembali timbul akibat pengaruh peninggian kolesterol dan diabetes.
Penelitian selama 10 tahun mendapatkan kira-kira 60% graft vena tetap baik dibandingkan dengan 88% graft a. mamaria interna. Mortalitas pembedahan tidak lebih dari 2% akibat risiko yang besar pada penderita angina tak stabil dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk. Resiko meninggi pada umur lebih dari 65 tahun akibat penyakit yang lebih berat terutama pada kerusakan ventrikel kiri walaupun memberikan respons yang baik dengan graft dan sekarangpun pembedahan biasa dilakukan pada penderita umur 20 tahun. Morbiditas pembedahan juga tidak sedikit yaitu sering didapatkan perubahan neuropsikiatrik sementara dan insidens stroke 5%. Akan tetapi kebanyakan penderita lambat laun akan kembali seperti semula.

d. Ercutaneous transluminal Coronary Angioplasaty (PTCA)

Pada bebrapa negara 30% penderita dilakukan dilatasi stenosis koroner dengan balon. Mula-mula indikasinya terbatas pada lesi koroner yang tunggal akan tetapi sekarang juga dilakukan pada penyakit pembuluh darah multipel. Tekhnik ini dilakukan dengan anestesi lokal dan biasanya perawatan di rumah sakit tidak lebih dari 3 hari. Risiko oklusi pembuluh darah dan infark miokard didapatkan 5%. 25% stenosis kembali dalam waktu 6 bulan dan perlu diulang kembali, sedangkan 75% berhasil untuk waktu yang lama. Pemilihan penderita yang tepat untuk dilakukan PTCA memberi hasil yang aman dan sangat efektif untuk memperbaiki angina stabil dan angina tak stabil walaupun belum ada percobaan kontrol yang membandingkan dengan bedah koroner.

6 Langkah Penanganan Stroke


Enam langkah penanganan stroke diambil dari intervensi pada perjalanan alamiah dan klinik penyakit stroke. Langkah-langkah penanganan stroke meliputi: (1) pencegahan, (2) pengenalan dini, (3) reperfusi, (4) neuroproteksi, (5) rehabilitasi, dan (6) pencegahan sekunder.


1.Pencegahan stroke
Pada prinsipnya stroke dapat dicegah. Pemahaman akan faktor risiko stroke, dan pengendalian akan faktor risiko stroke mutlak diperlukan. Faktor risiko stroke yang utama adalah hipertensi, diabetes, merokok, dan dislipidemia. Pengurangan konsumsi garam dan olahraga terbukti menurunkan stroke (SAFE, 2008). Penelitian Wang, dkk (2007) menunjukkan bahwa kampanye mewaspadai hipertensi, berhenti merokok, dan menurunkan berat badan pada masyarakat terbukti berhasil menurunkan angka kejadian stroke sampai dengan 11,4%.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagai faktor risiko stroke yang utama, hipertensi seringkali tidak disadari. Hal inilah yang menyebabkan hipertensi dijuluki sebagai si pembunuh diam-diam (the silent killers). Pasien datang berobat ketika kerusakan target organ telah sedemikian parahnya. Edukasi kepada pasien dan masyarakat luas tentang bahaya hipertensi mutlak diperlukan.


2.Pengenalan gejala dini
Stroke adalah kedaruratan medik. Semakin cepat pasien ditangani secara adekuat, semakin besar Permasalahan yang muncul adalah pasien stroke seringkali tidak segera datang ke RS. Banyak penelitian menunjukkan keterlambatan pasien stroke meminta pertolongan medis yang adekuat. Penelitian di Thailand menunjukkan bahwa hanya 20,2% pasien stroke yang datang ke RS dalam waktu kurang dari 24 jam (Asawavichienjinda dan Boogrid, 1998). Mengapa pasien datang terlambat ke RS ? Banyak penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar pasien dan keluarganya tidak mengenali gejala stroke. Edukasi kepada masyarakat untuk mengenali secara dini gejala stroke mutlak diperlukan.


3.Reperfusi dan Neuroproteksi
Gangguan fungsi saraf akan terganggu bila aliran darah otak turun. Pada kasus ini jaringan otak belum mati, namun mengalami gangguan fungsi. Bagian ini disebut sebagai bagian iskemik pneumbra. Bila gangguan aliran darah berkepanjangan dapat terjadi kematian jaringan saraf yang disebut infark. Target terapi adalah menyelamatkan jaringan pneumbra.Tindakan penyelamatan dilakukan dengan membuka sumbatan dengan obat thrombolitik. Tindakan ini jarang sekali dilakukan di Indonesia karena persyaratan yang sangat banyak. Salah satu syarat utama adalah pasien datang kurang dari 6 jam setelah serangan stroke. Inilah yang disebut dengan konsep “time is brain”.
Tindakan lain adalah dengan neuroproteksi (melindungi bagian otak). Hal ini dapat dicapai dengan pemberian obat dan pencegahan komplikasi stroke. Unit stroke yang multidisiplin dan perawatan yang lebih terstruktur terbukti menurunkan angka kematian dan komplikasi stroke.


4.Rehabilitasi
Salah satu modalitas terapi yang utama untuk membantu pemulihan pasca stroke adalah program rehabilitasi. Salah satu programm rehabilitasi yang hampir selalu dilakukan adalah terapi fisik (fisioterapi). Fisioterapi pada prinsipnya dilakukan sesegera mungkin (as soon as possible). Tentu saja hal ini disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pasien stroke dengan gangguan bicara akan menjalani terapi wicara (speech therapy). Terapi okupasi (occupational therapy) dilakukan untuk memperbaiki fungsi kehidupan sehari-hari pasien (activities of daily living), seperti mandi, makan, berganti baju, dan menyisir rambut.


5.Pencegahan stroke ulang
Serangan stroke ulang umum dijumpai. Seangan stroke ulang pada umumnya lebih berakibat fatal daripada serangan stroke yang pertama. Penelitian Xu, dkk (2007) memperlihatkan bahwa serangan stroke ulang pada tahun pertama dijumpai pada 11,2% kasus. Pengendalian fakror risiko yang tidak baik merupakan penyebab utama munculnya serangan stroke ulang. Penelitian diatas menunjukkan bahwa serangan stroke ulang pada umumnya dijumpai pada individu dengan hipertensi yang tidak terkendali dan merokok.